LightBlog

Walisongo di Dadaku

Pagi akhir pekan itu, suasana ramai. Dari pintu masuk menuju madrasah beberapa petugas dari resimen mahasiswa sudah bertugas menjaga keamaman. Area parkir sepeda motor yang terletak dibawah green house penuh sesak ditambah parkir mobil dan motor lalu lalang membanjiri tanah lapang.

Sedangkan di lapangan basket tampak ribuan manusia membanjiri. Layaknya sebuah Walimah. Ternyata, panggung nan megah itu adalah suasana Muwaddaah Bersama Yayasan Walisongo Pecangaan.

Sejak menginjakkan kaki mulai 2001 hingga 2011 kemarin, baru kali pertama Yayasan Walisongo menyelenggarakan Muwaddaah Bersama yang melibatkan MTs-SMP-MA-SMA-SMK. Sebuah gebrakan baru. Apalagi beberapa tahun terakhir Walisongo sedang dilanda “paceklik” berkepanjangan.

Disaat Yayasan yang sama-sama berkibar dibawah naungan Lembaga Pendidikan Maarif NU Kabupaten Jepara semisal MTs-MA-SMK Balekambang, MTs-MA Mathaliul Huda Bugel, SMA-SMK Islam Jepara, MTs-MA Mathalibul Huda Mlonggo dan MTs-MA Hasyim Asyari Bangsri masih eksis dengan ribuan siswa dan santri tetapi Walisongo sedang diuji nyali.

Beberapa tahun terakhir, Walisongo minim peserta didik baru. Untuk SMK Walisongo karena santernya digembor-gemborkan Kementerian Pendidikan Nasional, imbas positif bermuara ke SMK yang temasuk unit baru di Yayasan Walisongo. Muridnya membludak hingga gencar menambah jumlah bangunan. Sementara unit lain MTs-SMP-MA-SMA lagi “paceklik” siswa. Paling banter menampung dua sampai tiga kelas setiap tahun ajaran baru.  

Hal itu berbanding terbalik waktu itu, bersamaan Yayasan Walisongo sebagai mercusuar Pendidikan Islam di Jepara. Saat itu, ribuan peserta didik datang dari berbagai penjuru. Prestasi akademik dan non-akademik tidak kalah dengan sekolah Negeri. Keberhasilan itu, tentu tidak lepas dari kefiguran KH Mahfudz Asymawi almarhum.

Kini, cobaan sedang menghantam Walisongo. Banyak hal menjadi penyebabnya diantaranya jalur mini bus yang alihkan, era Bupati Hendro Martojo. Jalur mini bus dari arah Jepara yang melewati jalur lingkar depan SMAN Pecangaan menambah keengganan calon peserta didik bersekolah di Walisongo.

Siswa dari arah Tahunan-Jepara-Mlonggo dan sekitarnya jika termasuk siswa laju dan tidak berkendaraan mesti jalan kaki dari SMAN Pecangaan. Cukup lelah. Begitu pun dari arah Kalinayamatan-Mayong-Nalumsari-Welahan dan sekitarnya jika pulang wajib jalan kaki hingga sub terminal Pecangaan. Lelah pula.

Disamping itu, maraknya lembaga Pendidikan Islam di setiap kecamatan maupun desa. Padahal dulunya, daerah-daerah itu, pemasok siswa terbanyak.

Adapun yang sangat menghantam eksistensi Walisongo adalah sejumlah oknum yang sama-sama mengelola Lembaga Pendidikan Islam senantiasa mengisukan “miring”. Bersamaan dengan santernya era globalisasi tentu bergejolak terhadap perilaku siswa saat ini. Apalagi yang bermuara pada tawuran, penyalahgunaan narkoba hingga free sex (seks bebas).

Laiknya Lembaga Pendidikan Islam tentu tidak akan mendidik anak-anak menjadi celaka. Tetapi karena jam tatap muka hanya setengah hari pagi-siang barangkali ada sebagian siswa terjerat kasus-kasus negatif. Entah lembaga Pendidikan Islam maupun pendidikan umum secara global akan tertimpa itu.

Anehnya, sejumlah oknum yang kurang suka eksistensi Walisongo barangkali akan naik pitam jika mendengar kabar prestasi-prestasi ditorehkan lembaga yang pernah dirintis oleh Kyai Mahfudz. Akan tetapi, jika suatu ketika seorang siswa terjerat kasus pihak oknum membesar-besarkan kepada khalayak. Sehingga khalayak semakin kurang percaya kepada Walisongo. Sejujurnya, setiap sekolah barangkali pernah tertimpa kasus yang negatif.

Masa “pacekliknya” Walisongo beberapa tahun ini tidak perlu dihadapi dengan emosi tetapi dengan hati nan suci. Tetapi lebih dijadikan pelajaran berharga untuk menyongsong Walisongo kembali menjadi mercusuar pendidikan di Jepara apalagi sepeninggal Kyai Mahfudz tercinta.

Pembaruan manajemen, pentingnya nguri-nguri alumni, memperkuat kompetisi akademik-non akademik, pentingnya promo lewat berbagai even dan sebagainya menjadi pekerjaan rumah Yayasan yang kini digawangi H Zakaria.

Tetap di Dada
Yayasan Walisongo saat ini boleh saja “paceklik” tetapi tidak menyurutkanku untuk tetap menyematkan almamater tercinta didadaku. Bagaimana pun pula, beberapa tahun silam aku menjadi bagian dari Walisongo.

Orang boleh berkata “miring”, Walisongo tetaplah berprestasi. Tahun ini SMA sederajat Se-Kabupaten Jepara ada 12 siswa yang tidak lulus tetapi Walisongo tidak masuk dalam lingkaran itu. Walisongo lulus 100%.

Tidak hanya lulus 100%, beberapa prestasi juga ditorehkan. MA Walisongo tingkat Kabupaten untuk SMA/MA Negeri dan Swasta jurusan Bahasa memperoleh peringkat I dan jurusan IPA peringkat II kategori nilai UN tertinggi. SMA Walisongo tingkat Kabupaten SMA Swasta jurusan IPA peringkat I, jurusan IPS peringkat I dan jurusan Bahasa peringkat II dalam kategori yang sama. Cukup membanggakan.

Meski menjadi bagian terkecil dari MA Walisongo sejak 2009 hingga kini, peserta didik yang belajar bersama denganku dalam jurnalistik walaupun baru beberapa penghargaan dalam penulisan ditorehkan namun lumayan membanggakan.

Tingkat Kabupaten pernah memenangi juara I Lomba Menulis Sinopsis dan Reportase, juara II Lomba Menulis Cerpen dan Lomba Karya Tulis Ilmiah Pelajar. Tingkat Karisidenan Pati pernah juara III Lomba Menulis Cerpen. Puluhan karya juga pernah di muat di SwaraMuda-Yunior (Suara Merdeka), Tilik Kampung (Suara Muria), Gelanggang Remaja (Kompas Jateng), Media Indonesia, Majalah Maarif Jateng dan media lokal-nasional yang lain.

Spirit mercusuar pendidikan di Yayasan Walisongo Pecangaan bagiku masih berkobar. Disaat ada sejumlah alumni “murtad” akan kondisi “paceklik” di Pecangaan, bagiku 100% tidak. Walisongo (tetap) di dadaku. (Syaiful Mustaqim)
Walisongo di Dadaku Walisongo di Dadaku Reviewed by Rif'ul Mazid Maulana on 7/13/2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Comments

LightBlog