Cerpen Azifatul Alimah (Siswa kelas XII IPA)
Aku masih mengayuh sepedaku. Udara terasa sangat panas. Sengatan matahari menerpa tubuhku. Di dalam keranjang sepedaku penuh dengan obeng, tang, palu dan alat-alat berat lain.
Setibanya aku didepan rumah, kusandarkan sepedaku di dekat pagar. Aku berjalan menuju gudang sambil mengemban seabrek alat-alat bengkelku. Fyuh, hari yang melelahkan. Dalam rumah sepi sekali. Aku lalu mandi dan kembali ke gudang.
“Ina, Ina…lihat apa yang aku bawa!” Febri berlari-lari menghampiriku.
Wajahnya cengar-cengir, “coba lihat!”
“Apa ini?” tanyaku sambil menggaruk kepala.
“Ini adalah stop kontak udara yang kamu mau dari aku kemarin. Aku membuatnya sendiri lho,” ucapnya dengan bangga.
“Emang bener begini?”
“Kan kamu yang memberi rumusnya.” Agak cemberut.
“Iya sih tapi yang aku maksud bukan stop kontak tapi pompa.” Kulihat wajahnya memerah karena malu. Aku melanjutkan pekerjaanku membongkari mesin-mesin rusak itu.
“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
Aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Tanpa menolehkan wajahku padanya. Dia diam saja.
Sudah pukul empat sore. Sebentar lagi Ibu pasti pulang. Aku harus cepat-cepat ke dapur untuk memasak sebelum aku mendapatkan omelan dari Ibuku. Febri yang sedari tadi berdiri kutinggalkan begitu saja. Mungkin di belakang sana ia menggerutu. Biarlah.
* * *
Matahari sudah muncul dan tersenyum di ufuk timur. Aku segera mengeluarkan sepedaku dan bersalaman dengan Ibu. Kucium tangan lembut Ibuku tersayang. Ku kayuh sepeda bututku hingga sampai di halaman sekolah. Didalam kelas aku membuka-buka buku Bahasa Inggris. Itu adalah pelajaran kesukaanku.
“Wah udah nggak balajar telat lagi nich?” sapa Dian, teman sebangkuku.
“Ya nggak lah,” jawabku enteng.
Bel berbunyi. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas masing-masing. Aku dan Dian berjalan santai. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang.
“Ina. Tunggu!” Aku menoleh, ternyata Ardian.
“Ada apa?”
“Sepedaku rantainya copot. Kamu bisa nggak bantu aku memperbaikinya?”
”Ya udah, aku lihat sepedanya dulu.” Aku lalu mengambil sepedaku dan berjalan menuju rumah Ardian.
“Gimana?” kata Ardian.
“Bisa kok. Sekarang kamu antar sepedamu ke rumahku. Nanti biar aku yang membenahi rantainya. Eh, stangnya juga bengkong.” Ardian tersenyum.
“Iya kemarin aku jatuh menaiki sepeda itu,” akunya.
* * *
Setelah makan aku langsung ke gudang. Ibu tak melihatku. Aman.
“Ina!” aku kaget juga.
“Ada apa lagi, Bu? Tadi kan aku sudah mencuci piring dan mengepel. Aku mau memperbaiki sepedanya temanku nih.”
“Ina, Ina. Kamu ini anak perempuan. Belajarlah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Nantinya kamu akan berumah tangga. Jadilah kamu wanita yang sesungguhnya.”
“Ibu. Sekarang itu sudah zamannya globalisasi. Jadi, wanita itu tidak cuman terpaku di dapur saja. Sekarang kan banyak wanita yang juga mampu berkecimpung di dunia tehnik. Khususnya teknik mesin.”
Ibu hanya menggelengkan kepala. Aku melanjutkan pekerjaanku. Setelah lama aku mengutak-atik sepeda yang rusak itu akhirnya selesai juga ku perbaiki. Angin tiba-tiba saja berhembus sangat kencang. Sampah-sampah beterbangan. Aku beranjak ke halaman rumah. Langit mendung, sepertinya hujan akan turun.
Aku mengambil jemuran-jemuran baju dan membawanya ke rumah. Lalu aku kembali ke gudang. Hujan turun deras sekali. Bersama dengan jatuhnya butiran air hujan ke bumi. Aku teringat akan pesan kakak sewaktu masih hidup.
“Kamu harus bisa membahagiakan Ibu. Jika nanti kamu dewasa dan aku sudah tiada. Ibu adalah surga. Jadi kakak minta kamu jangan mengecewakan Ibu.”
Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Aku tersadar dari lamunanku. Aku masuk ke rumah dan menyiapkan makanan untuk makan malam. Setibanya Ibu di rumah, Ibu kelihatan senang sekali karena aku sudah membersihkan seisi rumah yang kotor sampai bersih tak ada satu sampah pun yang tercecer.
“Ina, Ibu tahu kamu adalah anak yang rajin. Ibu bangga sekali sama kamu.” Kurasakan kehangatan pelukan Ibu. Akan selalu terkenang dihatiku hingga akhir hayatku.
* * *
“Ina, bagaimana dengan sepedaku? Sudah?”
“Sudah, mari kerumahku dan ambillah sepedamu!”
Sesampai di rumahku, Ardian bermaksud memberikan aku uang atas jasaku memperbaiki sepedanya. Namun aku menolaknya.
“Kenapa? Ini sebagai tanda terima kasihku untukmu.” Aku melirik wajahnya.
“Kita bersepeda aja yuk!”
“Ya udah, sini aku boncengin.” Ia kelihatan gembira. Aku pun bersepeda bersamanya. Febri memanggilku dari ujung jalan. Ardian menghentikan laju sepedanya. Febri juga tak mau ketinggalan ingin ikut bersepeda tapi dia tak bawa sepeda.
“Gimana nih?”
“Ya sudah, kita naik bertiga saja,” ujarku. Disusul dengan tawa mereka yang menggelikan. Aku juga ikut tertawa bersama sang surya yang setia memberi cahaya.
Aku masih mengayuh sepedaku. Udara terasa sangat panas. Sengatan matahari menerpa tubuhku. Di dalam keranjang sepedaku penuh dengan obeng, tang, palu dan alat-alat berat lain.
Setibanya aku didepan rumah, kusandarkan sepedaku di dekat pagar. Aku berjalan menuju gudang sambil mengemban seabrek alat-alat bengkelku. Fyuh, hari yang melelahkan. Dalam rumah sepi sekali. Aku lalu mandi dan kembali ke gudang.
“Ina, Ina…lihat apa yang aku bawa!” Febri berlari-lari menghampiriku.
Wajahnya cengar-cengir, “coba lihat!”
“Apa ini?” tanyaku sambil menggaruk kepala.
“Ini adalah stop kontak udara yang kamu mau dari aku kemarin. Aku membuatnya sendiri lho,” ucapnya dengan bangga.
“Emang bener begini?”
“Kan kamu yang memberi rumusnya.” Agak cemberut.
“Iya sih tapi yang aku maksud bukan stop kontak tapi pompa.” Kulihat wajahnya memerah karena malu. Aku melanjutkan pekerjaanku membongkari mesin-mesin rusak itu.
“Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?”
Aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Tanpa menolehkan wajahku padanya. Dia diam saja.
Sudah pukul empat sore. Sebentar lagi Ibu pasti pulang. Aku harus cepat-cepat ke dapur untuk memasak sebelum aku mendapatkan omelan dari Ibuku. Febri yang sedari tadi berdiri kutinggalkan begitu saja. Mungkin di belakang sana ia menggerutu. Biarlah.
* * *
Matahari sudah muncul dan tersenyum di ufuk timur. Aku segera mengeluarkan sepedaku dan bersalaman dengan Ibu. Kucium tangan lembut Ibuku tersayang. Ku kayuh sepeda bututku hingga sampai di halaman sekolah. Didalam kelas aku membuka-buka buku Bahasa Inggris. Itu adalah pelajaran kesukaanku.
“Wah udah nggak balajar telat lagi nich?” sapa Dian, teman sebangkuku.
“Ya nggak lah,” jawabku enteng.
Bel berbunyi. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas masing-masing. Aku dan Dian berjalan santai. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang.
“Ina. Tunggu!” Aku menoleh, ternyata Ardian.
“Ada apa?”
“Sepedaku rantainya copot. Kamu bisa nggak bantu aku memperbaikinya?”
”Ya udah, aku lihat sepedanya dulu.” Aku lalu mengambil sepedaku dan berjalan menuju rumah Ardian.
“Gimana?” kata Ardian.
“Bisa kok. Sekarang kamu antar sepedamu ke rumahku. Nanti biar aku yang membenahi rantainya. Eh, stangnya juga bengkong.” Ardian tersenyum.
“Iya kemarin aku jatuh menaiki sepeda itu,” akunya.
* * *
Setelah makan aku langsung ke gudang. Ibu tak melihatku. Aman.
“Ina!” aku kaget juga.
“Ada apa lagi, Bu? Tadi kan aku sudah mencuci piring dan mengepel. Aku mau memperbaiki sepedanya temanku nih.”
“Ina, Ina. Kamu ini anak perempuan. Belajarlah melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Nantinya kamu akan berumah tangga. Jadilah kamu wanita yang sesungguhnya.”
“Ibu. Sekarang itu sudah zamannya globalisasi. Jadi, wanita itu tidak cuman terpaku di dapur saja. Sekarang kan banyak wanita yang juga mampu berkecimpung di dunia tehnik. Khususnya teknik mesin.”
Ibu hanya menggelengkan kepala. Aku melanjutkan pekerjaanku. Setelah lama aku mengutak-atik sepeda yang rusak itu akhirnya selesai juga ku perbaiki. Angin tiba-tiba saja berhembus sangat kencang. Sampah-sampah beterbangan. Aku beranjak ke halaman rumah. Langit mendung, sepertinya hujan akan turun.
Aku mengambil jemuran-jemuran baju dan membawanya ke rumah. Lalu aku kembali ke gudang. Hujan turun deras sekali. Bersama dengan jatuhnya butiran air hujan ke bumi. Aku teringat akan pesan kakak sewaktu masih hidup.
“Kamu harus bisa membahagiakan Ibu. Jika nanti kamu dewasa dan aku sudah tiada. Ibu adalah surga. Jadi kakak minta kamu jangan mengecewakan Ibu.”
Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipi. Aku tersadar dari lamunanku. Aku masuk ke rumah dan menyiapkan makanan untuk makan malam. Setibanya Ibu di rumah, Ibu kelihatan senang sekali karena aku sudah membersihkan seisi rumah yang kotor sampai bersih tak ada satu sampah pun yang tercecer.
“Ina, Ibu tahu kamu adalah anak yang rajin. Ibu bangga sekali sama kamu.” Kurasakan kehangatan pelukan Ibu. Akan selalu terkenang dihatiku hingga akhir hayatku.
* * *
“Ina, bagaimana dengan sepedaku? Sudah?”
“Sudah, mari kerumahku dan ambillah sepedamu!”
Sesampai di rumahku, Ardian bermaksud memberikan aku uang atas jasaku memperbaiki sepedanya. Namun aku menolaknya.
“Kenapa? Ini sebagai tanda terima kasihku untukmu.” Aku melirik wajahnya.
“Kita bersepeda aja yuk!”
“Ya udah, sini aku boncengin.” Ia kelihatan gembira. Aku pun bersepeda bersamanya. Febri memanggilku dari ujung jalan. Ardian menghentikan laju sepedanya. Febri juga tak mau ketinggalan ingin ikut bersepeda tapi dia tak bawa sepeda.
“Gimana nih?”
“Ya sudah, kita naik bertiga saja,” ujarku. Disusul dengan tawa mereka yang menggelikan. Aku juga ikut tertawa bersama sang surya yang setia memberi cahaya.
Gadis Mesin
Reviewed by Unknown
on
12/10/2012
Rating:
Tidak ada komentar: