LightBlog

Gara-Gara Facebook



Cerpen: Uswatun Khasanah

Kusandarkan tubuh yang lelah di kursi bambu depan rumah. Melihat jalan yang penuh keramaian orang berlalu lalang. Membuat pikiranku melayang ke negeri dongeng. Rasa kantuk membius diriku. Mataku tertutup secara perlahan dan menghantarkanku ke alam mimpi dalam khayalanku tiba-tiba.

“Assalamu’alaikum,” sapa seorang yang datang dan membangunkanku dari khayalan panjangku.

“Wa’alaikumsalam,” jawabku singkat sambil mencari sumber suara orang yang mengucapkan salam padaku.

Kumenatap sesosok laki-laki yang tampan dan tersenyum padaku kucoba membuka memori otakku untuk mengingat sosok laki-laki itu.

“Kak Haris,” ucapku seketika sambil menghambur kearahnya dan memeluknya. Dia hanya tersenyum dan membalas pelukanku. Kakak sepupuku yang bersekolah di Jakarta dan sekarang dia berkunjung ke rumahku karena liburan.

“Arvin, ibu dan ayahmu dimana?” tanya kak Haris sambil melihat kanan kiri suasana di rumah.

“Ibu dan Ayah masih di sawah, belum pulang kak,” kataku sambil membenahkan posisi dudukku diatas kursi yang sudah tua dan hampir rapuh.

“Silahkan duduk kak. Kakak pasti capek jauh-jauh dari Jakarta ke Jepara,” kataku sambil beranjak berdiri.

“Iya, terimakasih Arvin,” jawabnya.

Kak Haris duduk dan menikmati senja sore dan suasana pedesaan yang sangat jauh berbeda dengan Kota Metropolitan Jakarta.

Aku ke dapur lalu kembali dengan membawa secangkir teh hangat dan pisang goreng di tangan kanan dan kiriku. Kulihat kak Haris mengeluarkan benda yang ajaib. Benda yang simpel dan bisa hidup dengan sentuhan jari-jari. Ketika disentuh benda itu mengeluarkan cahaya dan gambar-gambar lucu dan unik. Aku bingung dan banyak pertanyaan muncul diotakku.

“Kak, itu apa?” tanyaku dengan polos penuh rasa penasaran.

“Ini namanya laptop,” jawab kak Haris yang serius dengan benda didepannya.

“Fungsinya buat apa kak?” tanyaku lebih penasaran dan rasa ingin tahu.

“Fungsinya banyak sekali dek, kita dapat memperoleh informasi yang banyak dari luar, menambah wawasan dan pengetahuan dan juga bisa untuk mencari teman seperti yang saya lakukan ini dek, yaitu facebook,” jelas kak Haris yang panjang lebar.

Penjelasan yang membuat otakku berputar seperti roda sepeda yang dikayuh dengan cepat seperti otakku tak dapat menerima dan memahami penjelasan dari kak Haris, akhirnya aku lontarkan pertanyaan-pertanyaan yang membebani otakku.

“Kak, apa manfaat dari facebook?” tanyaku penuh harap.

“Manfaat facebook salah satunya adalah kita dapat mempunyai banyak teman dan mengenal orang-orang diluar,” jawab kak Haris dengan penuh keyakinan.

Aku pun tertarik dengan facebook, aku ingin mempunyai banyak teman diluar sekolah. Aku pun di ajari kak Haris menggunakan benda super canggih itu.
Tak terasa sang senja sore telah kembali ke peraduannya, terdenggar suara adzan yang menggema serasa mendamaikan hati. Langkah orang-orang menuju surau. Aku dan kak Haris kemudian masuk kedalam rumah. Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan dari balik pintu, lalu kubuka pintu yang berada di samping rumah itu.

“Assalamu’alaikum,” ucap Ayah dan Ibuku secara bersamaan, rasa lelahnya hilang ketika melihat sosok kak Haris dari balik tirai kamar. Kak haris menyambut kedua orang tuaku dengan mencium tangan orang tuaku. Mereka tersenyum senang melihat kak Haris yang bertambah dewasa.

“Ayo! Kita sholat maghrib berjama’ah dulu,” kata Ayahku memecahkan suasana.

Ayah dan Ibuku kemudian mandi dan bersih-bersih, lalu kita berempat melaksanakan jama’ah bersama-sama dengan penuh kekhusukan.

Setelah melaksanakan sholat maghrib, aku dan kak Haris duduk di teras rumah melihat langit yang penuh dengan bintang yang sangat indah. Sang ratu malam yang indah mendawai mendamaikan hati. Dengan ditemani benda ajaib yang tadi siang di bawa kak Haris. Kak Haris mengajariku bagaimana cara-cara menggunakan facebook. Ibuku datang menghampiri kami.

“Nak, bagaimana keadaanmu?” tanya Ibuku sambil menatap kak Haris.

“Alhamdulillah bu sehat, oh iya, bunda titip salam buat ibu. Bunda meminta maaf karena tidak bisa ikut liburan kesini karena masih menemani Syara yang mau ujian bu,” terang kak Haris kepada Ibuku.

“Tidak apa-apa nak Haris, justru Ibu senang sekali kamu masih bisa datang kesini,” jawab Ibuku.

Ibuku pergi meninggalkan kami, kak Haris mulai berkonsentrasi dan serius dengan benda dihadapannya. Aku masih bingung untuk memahami fungsi alat ini. Malam kian larut udara dingin menusuk kedalam tulang dan angin berhembus secara perlahan menggoyangkan rumput-rumput dan melambai-lambaikan dedaunan.

Aku dan kak Haris masih terobsesi dengan benda ajaib itu hingga jarum jam berdetak diangka 23.00 Wib. Aku terkejut dan melihat keadaan sekeliling, hanya suara jangkrik yang memecah keheningan malam ini.

“Kak pindah kedalam yuk!” Ajakku sambil menatapnya. Kami berdua beranjak berdiri dan berjalan kedalam rumah.
***

Adzan subuh menggema, Aku masih terlelap dalam mimpi panjangku. Ayam-Ayam mulai berkokok dan sang fajar mulai terbit dari timur. Aku segera beranjak dari tempat tidur, ketika ibu memanggilku.

“Arvin, bangun! Sudah setengah enam,” ucap Ibu dengan keras.

“Iya, bu” jawabku keras.

Aku segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku berwudlu dan segera shalat. Setelah shalat aku menyambar handuk dibelakang rumah dan segera menuju ke kamar mandi.
***

“Bu, aku berangkat dulu ya! Assalamu’alaikum,” kataku kepada Ibu yang masih sibuk didapur.

“Kamu tidak makan dulu nak?” tanya Ibu dari kejauhan.

“Tidak bu, ini sudah siang aku takut terlambat,” ucapku sambil melangkahkan kaki seindah mentari menemani perjalananku. Mentari yang mengintip dibalik dedaunan, burung-burung yang berkicau, daun-daun yang malambai-lambai.

SMP Harapan menungguku dengan langkah gonta-ganti akhirnya aku sampai dikelas 7A dilokal kelas yang paling timur.
***

“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil masuk kedalam kelas. Aku mencium tangan Bapak guru yang sedang mengajar.

“Maaf pak, saya telat,” ucapku jelas.

“Iya tidak apa-apa, cepat! Duduk dan menyesuaikan dengan yang lain.” ucap pak guru.

Pelajaran berlangsung sangat nikmat, seiring dengan berjalannya waktu pelajaran jam ke empat membuatku terasa mengantuk. Pelajaran Sosiologi yang membosankan dengan guru yang killer pula. Penerangan yang membuatku serasa didongengkan, mataku terpejam sesaat dan pikiranku berjalan-jalan ke alam bawah sadar.

Diantara teman-temanku yang sedang mendengarkan penjelasan dari guru Sosiologi, tiba-tiba kapur putih mendarat diatas mejaku dan membangunkanku dari mimpiku. Aku terkejut dan terbangun.

“Arvin, bangun!” ucap guru Sosiologi. Dia menatapku penuh lekat dan amarah.

Dengan rasa takut aku pun menunduk. Semua teman-temanku menertawakanku.

“Arvin, apa yang dimaksud dengan teman-teman?” Lontaran pertanyaan dari Pak guru kepadaku.

“Facebook pak,” jawabku pede.

“Ha…ha…ha…,” tawa teman-teman semakin kudengar dan menusuk gendang telingaku.

“Tet…tet…tet…,” bunyi bel berdering waktu istirahat tiba sontak menghentikan semua tawa teman-temanku.

“Iya sudah pelajaran kita lanjutkan minggu depan,” ucap pak Guru sebelum meninggalkan kelas.
***

Murid-murid berhamburan keluar kelas dengan aktifitasnya masing-masing, ada yang berkelompok dan berbincang-bincang, makan di kantin dan ada juga yang sibuk membaca novel di perpustakaan. Aku berjalan keluar menuju halaman didepan sekolah. Aku duduk dibangku dibawah pohon palem. Aku terdiam dan menatap langit penuh lekat.

Aku masih bertanya-tanya mengapa tadi teman-teman menertawakanku. Mulai muncul berbagai pertanyaan yang membuat memoriku penuh dan panas di otakku seperti awan yang berjalan diatas bumi.

“Assalamu’alaikum Arvin,” ucap seorang guru yang membuyarkan lamunanku.

“Wa’alaikumsalam bu.” Aku menoleh ke arah suara yang mendekatiku.

“Kamu kenapa dari tadi saya perhatikan kamu melamun terus, ada masalah apa?” tanya guru BK yang sudah akrab denganku itu.

Aku menatap bu guru tersebut, sesosok guru yang bijaksana dan penuh perhatian terhadap murid-muridnya yang mempunyai masalah dan memberi solusi.

“Aku tadi ditertawakan teman-temanku bu,” ucapku datar.

“Lha kamu ngapain kok sampai ditertawakan teman-temanmu?” tanya bu guru.

“Aku tadi ketiduran dikelas ketika ditanya pak Marwan aku jawab facebook. Tapi malah semua teman-temanku menertawakanku,” jelasku kepada bu guru.

“Lha tadi malam kamu ngapain kok sampai ketiduran dikelas?” tanya bu guru penasaran.

“Tadi malam saya belajar facebook dengan kak Haris, bu,” jawabku polos.

“Facebook bagi usia kalian tidak terlalu penting. Kalau kita ingin punya teman banyak bukan lewat facebook tapi kita harus baik dengan orang lain. Kita harus menyapa orang lain walaupun kita tidak saling menggenalnya. Kalau mencari teman lewat facebook kita hanya mempunyai teman didalam dunia maya yang bersifat fatamorgana,” jelas Bu Guru. Aku terdiam dan mencerna kata-kata guru BK itu. Dan membuatku sadar akan facebook.

“Baik bu, saya tidak akan mementingkan facebook dan belajar lagi, terimakasih bu atas sarannya,” ucapku singkat.

“Tet…tet…tet…,” bel masuk berbunyi dan aku meminta izin untuk masuk ke dalam kelas.
***

“Huh, gara-gara facebook aku malu banget sama teman-temanku dan merasa bersalah terhadap Pak Marwan karena selama pelajarannya aku tidak memperhatikan tetapi malah tidur,” gumanku dalam hati.

“Assalamu’alaikum,” sapaku kepada Pak Marwan yang sibuk dengan tugas-tugasnya.

“Wa’alaikumsalam,” jawab pak Marwan.

“Pak, saya minta maaf atas kejadian tadi pagi,” ucapku terbata-bata.

“Iya Arvin, saya sudah memaafkanmu tetapi kamu jangan mengulanginya lagi ya! Dan kamu harus membagi waktumu antara facebook-an dengan belajar ya!”

“Baik pak,” ucapku singkat.

Hari ini aku telah mendapatkan pengalaman yang begitu besar. Walaupun  sangat menyebalkan tapi ini menjadi bekal hidupku agar tidak kecanduan dengan dunia maya.
Gara-Gara Facebook Gara-Gara Facebook Reviewed by Rif'ul Mazid Maulana on 4/04/2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Comments

LightBlog