LightBlog

Surat Yang Terlampat



Cerpen Iqbal Abdul Jamil

Pagi yang dingin tertabur embun yang menusuk, selang waktu yang silih berganti, pertanda mentari yang bersedih kan muncul, suara kicauan burung yang tak terdengar. Pagi itu, si gadis ceria tak tersenyum lebar seperti biasanya. Ketika vokal suara yang aneh keluar dari pita suara Ibunya, dialah Fera si gadis ceria.

Pagi itu, Ibunya membangunkan dirinya yang sedang menikmati sisa mimpi dalam tidurnya. Fera tak menyangka mendengar suara yang serak dari mulut Ibunya.

“Kenapa kau Ibu? Kau tak seperti biasanya!” kata Fera yang khawatir kelihatan dari raut wajahnya.

“Ibu tak apa nak! Sekarang bersiaplah karena kau akan pergi ke sekolah.” Perkataan yang bersimbah wajah pucat.

Fera segera bangun dari tempat tidurnya sambil membawa berjuta tanda tanya kekhawatiran dalam pikirannya.
* * *
Waktu pagi telah mengantarkan jarum jam ke pukul 07.00. Segeralah Fera pergi ke sekolahnya. Satu langkah dari pintu terdengarlah suara panggilan.

“Fera, nanti jangan pulang sore! Ibu ingin mengajakmu pergi,” suara tegas Ibunya.

“Iya bu!” ucap Fera.

Fera tak menanyakan kemana Ibunya akan membawanya pergi. Hari terasa mendung meski mentari memancarkan sinarnya, kekhawatiran Fera berimbas pada belajarnya di sekolah. Ia selalu memikirkan tingkah laku aneh dari Ibunya di hari itu.

Fera yang selalu ceria dengan teman-temannya tak terlihat seperti burung yang berkicau di dalam air. Konsentrasinya buyar dan tak terkendali. Waktu telah menunjukkan pukul 13.30 bunyi lonceng pun terdengar, segeralah ia pulang dengan membawa harapan.
* * *
“Assalamu’alaikum. Aku pulang Bu!” ucap Fera dengan pelan.

 “Wa’alaikum salam. Ayo nak sekarang kita ke rumah sakit, kita akan menengok kakakmu” ajak Ibu terburu-buru.

“Lho, kakak sakit apa bu?” Fera yang sedikit sakit dan berhati-hati.

Ibunya pun tak menjawabnya, Fera semakin bersedih atas tingkah aneh Ibunya. Fera tak menyangka sifat sahabat dari Ibunya hilang di hari itu. Di tengah perjalanan Ibunya mengajak singgah di sebuah rumah makan Padang. Mereka memilih tempat duduk di paling dekat dengan pintu.

“Mau pesan apa bu?” tanya pelayan rumah makan itu.

“Oh ya, saya pesan dua rendang dan nasi dengan tiga telur balado,” Ibunya kelihatan seperti orang yang sangat lapar.

“Ibu buat apa sebanyak itu? Lalu siapa yang akan memakannya? Ibu kan punya penyakit lambung,” ucap Fera dengan kekhawatirannya.

“Tak apalah Fera, Ibu yang memakannya.” Ibunya memaksa.

Kembalilah pelayan dengan membawa masakan yang telah di pesan oleh mereka. Ibu yang tak seperti biasanya langsung melalap semua makanan yang ada.

“ Ibu apa-apaan ini, kita seperti orang yang belum makan seminggu saja, malu bu, dilihatin banyak orang,” kata Fera, sedikit tegas.

“Sudahlah Fer, jangan kau pedulikan orang lain, hiraukan saja mereka,” jawab Ibunya.

“Tapi bu?” Fera menyela.

“Sudah Fer, jika kau tak suka dengan tingkah ibu, jangan menganggap aku Ibumu,” kata Ibunya dengan suara keras.

Fera begitu kaget dan bersedih setelah mendengar perkataan yang tak jelas maknanya dari Ibunya itu.

Dia tak kuasa menahan air matanya. Tak berapa lama kemudian Fera meminta izin kepada Ibunya.

“Maaf Ibu, aku harus segera pergi karena sore ini aku ada les Matematika, Ibu tak apakan pergi ke rumah sakit sendirian?”

“Iya nak, tak apa-apa, pergilah! Hati hati dijalan, semoga kau dapat ilmu yang bermanfaat.” ucap Ibunya dengan suara lirih.

Fera yang masih mengenakan seragam sekolah pergi dengan bersimbah air mata dipipinya.
* * *
Awan mulai menghitam, anak burung pun terdengar disana-sini yang menunggu makan dari induknya. Hari mulai gelap, tanda malam telah tiba. Fera yang lelah segera pulang dari tempat lesnya. Tak berapa lama, tibalah dia di halaman rumahnya. Terdengarlah ia pada suara orang-orang yang melantunkan surat Yasin dari dalam rumahnya.

Fera sangat bingung dan was-was, berlarilah ia segera ke dalam rumah. Ia melihat kain batik yang menutupi seseorang dengan dikelilingi lautan air mata yang menetes. Langsunglah ia membuka kain batik itu, tersengaklah ia pada apa yang ia lihat.

Sebujur tubuh yang pucat dan tak berdaya terlihat dari seseorang yang teramat ia sayangi di depan matanya. Ibu tercintanya telah meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Fera pun tak kuasa dengan air matanya, ia begitu terpukul dengan semuanya. Kakaknya pun segera menghampiri dan memeluknya.

“Kenapa kak? Kenapa ibu bisa begini apa yang terjadi?”

“Ini sudah takdir Fer, tadi ibu kerumah sakit untuk menengok kakak yang baru saja bekerja dirumah sakit itu namun sesampainya dirumah sakit ibu pingsan dan dokter menyatakan ibu sudah tidak ada karena parahnya kerusakan di lambung ibu,” jelas kakak Fera.

Fera begitu merasa bersalah yang membiarkan Ibunya memakan hal yang membahayakan bagi diri ibunya. Penderitaan Fera bertambah setelah enam bulan lalu ayahnya juga pergi meninggalkan keluarga dan entah kemana sekarang keberadaannya. Hari esok telah tiba, pengantaran Ibunya kerumah keabadian tak diikutinya. Kedatangan ayahnya pun tak terlihat tanda-tandanya.
* * *
Setengah hari berlalu, hanya mengenang yang menusuk kerinduan, sengatan sinar matahari yang melambai air matanya. Masuklah Fera kedalam sebuah kamar kenangan. Tempat itu memang tempat semasa indah bersama ibu dan ayahnya.

Terlihat sebuah kertas yang terselip diantara tumpukan buku diatas meja di dalam kamar, ia pun langsung mengambilnya, di bacalah kata demi kata yang mirip dengan tulisan Ibunya. Dalam tulisan itu terungkaplah kisah Ibunya, tiga hari sebelum kepergiannya. Ibu merasa terpukul atas apa yang dilihatnya.

Suami yang selama ini dicintainya terlihat berdampingan dengan wanita lain, sungguh menusuk hati dan matanya hingga berkumuran air mata dipipinya. Terbakarnya hati ibu seakan menghanguskan keutuhan keluarga. Ibu begitu frustasi atas segalanya, nasihat tentang kesehatannya ia juga tidak hiraukan.

Kini pun tak lagi didapatkan dari seseorang yang dulu dicintainya. Ibu tak lagi memikirkan segala apa yang dimilikinya. Sepenggal surat inilah yang ditinggalkannya untuk anak-anaknya, ucapan maaf dari ibu lewat surat tak dapat memutar waktu dari apa yang diterima Fera. Andai saja surat ini tak terlambat untuk dilihatnya maka semua tak akan terjadi.

Namun Fera tahu, ini adalah jalan yang harus ditempuh untuk menghadapi hari-harinya. Kini kenangan hanyalah kenangan. Surat yang terlambat tak mampu mengobati kesedihan yang ada, hanyalah seorang kakaklah yang Fera punya.namun kesibukan dengan pekerjaan barunya seakan menambah rasa sebatang kara dihidup Fera. Hingga akhir seperti inilah yang akan dilewati Fera dalam hidupnya untuk bertahun-tahun, hingga ia menemukan imam dalam hidupnya.
Surat Yang Terlampat Surat Yang Terlampat Reviewed by Rif'ul Mazid Maulana on 4/04/2012 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Comments

LightBlog